Jumat, 12 Agustus 2011
Kerajinan berbahan flanel memang sudah tak asing dan kian menjamur saja. Jika tak pintar berinovasi tentu akan dijauhi konsumen. Nah, tiga perempuan di Jawa Timur ini mencoba mencari peluang dari flanel. Tentu saja dengan inovasi dan kreasi yang beda.
Tahun 2007 menjadi awal berbisnis bagi Dian Kusuma Wardhani atau akrab dipanggil Dini. Seusai kuliah di ITB Fakultas Arsitektur dan menikah, Dini hijrah ke Malang, mengikuti jejak sang suami yang asli Malang. Ia sempat bingung, aktivitas apa yang akan ia lakukan di kota yang termasuk baru baginya. Dini lalu iseng mencoba membuat soft book dari kain. Kebetulan ia hobi menggambar.
Buku pertamanya berupa gambar hewan-hewan lucu dari kain flanel yang ditempel di atas kain flanel persegi dan disatukan menjadi buku. “Kenapa kain flanel, soalnya warnanya variatif dan cerah. Sempat tidak pedejuga, sih, apalagi kalau melihat karya kompetitor yang bisa memproduksi banyak. Tapi saya menyemangati diri sendiri karena saya merasa bisa mendesain gambar yang lucu-lucu,” papar Dini saat ditemui di rumah sekaligus tempat produksinya, Perumahan Meranti Wangi, Malang.
Bersama temannya, Dini mulai menawarkan soft book karyanya. “Kami tawarkan ke TK dengan harga Rp 50 ribu untuk tiga buku. Sayangnya, produk ini gampang copot dan tidak aman.” Tak hanya itu, pihak sekolah pun sulit menerima karena harus menunggu anggaran sekolah, jadi proses lakunya cukup lama. “Yang menyedihkan, ada salah satu guru mengatakan, cukup beli satu saja nanti tinggal disontek.”
Dini lalu mengubah konsep membuat edutoy dari kain flanel yang dijahit tangan, bukan hanya ditempel. “Pembuat pernak-pernik kain flanel, kan, sudah banyak tapi rata-rata tidak ada muatan edukasinya. Paling fungsinya sebagai hiasan saja. Nah, saya ingin ada nilai pendidikannya,” ujar Dini yang kemudian membuat website www.capungmungil.multiply.com. “Produk ini dinamakan capungmungil karena enak diucapkan dan didengar. Tidak ada makna tertentu. Ternyata, meski banyak yang melihat, pesanan tidak begitu banyak.”
Kebetulan seorang penulis buku anak, Arleen Amidjaya, tertarik apda produk Dini dan tanpa diminta, merekomendasikannya di milis orangtuanya. “Barulah tanggapannya luar biasa. Dari yang hanya bertanya sampai memesan,” papar Dini yang akhirnya mengerjakan sendiri semua proses produksinya karena belum bekerja dan belum punya momongan. “Mulai dari desain, menjahit, memotong, dan memasarkan, saya kerjakan sendiri.”
Ilustrasi Flanel
Di tengah perjalanan, Dini diterima menjadi dosen di Universitas Brawijaya Fakultas Teknik, kemudian melahirkan anak kembar, sehingga ia mulai membutuhkan pegawai untuk mengerjakan produk capungmungil. Kebetulan, ada mahasiswa yang mau kerja sambilan. “Dari awal saya bilang, desain yang dibuat di capungmungil tidak boleh sampai diketahui orang banyak. Jika mereka ingin buka usaha sendiri, ya, tak masalah, tapi jangan pakai desain dan merek yang sama. Harus dikembangkan lagi.”
Meski pegawainya sudah pindah ke Blitar, namun hingga kini masih tetap bekerja buat Dini. “Barang yang diproduksi berupa boneka jari dan boneka kecil dikirim lewat titipan kilat. Sementara barang pesanan khusus dibuat di rumah. Produknya berkembang, awalnya edutoys merambah ke barang interior seperti sarung bantal, tutup gelas, seprei, gorden, dan sajadah.”
Pada tahun 2010 Dini membuat buku kerajinan flanel dengan produk sarung bantal, taplak, atau penutup makanan. “Ternyata meski saya ada di Malang, asal ada network , produknya bagus dan unik pasti dicari. Malah disangkanya capungmungil dari Jakarta, tak percaya di Malang diproduksinya,” kata Dini sambil tertawa.
Sampai saat ini, sudah ada tiga buku yang diterbitkan Dini, berjudul Flanel untuk Make Over , selain board book dengan ilustrasi flanel. “Jadi, buku cerita aslinya dibuat dari flanel, lalu difoto dan dicetak. Kalau semua buku dibuat dari flanel, jatuhnya jadi mahal dan tidak memungkinkan untuk ongkos produksinya. Bayangkan saja, satu halaman terdiri banyak elemen yang pembuatannya harus detail.”
Diakui Dini, dalam bisnis ini kendala utamanya yaitu sulitnya mendapatkan penjahit. “Tiap kali ada penjahit baru, saya ajarkan lagi dan itu tak gampang. Pernah ada 10 penjahit part timer tapi tidak efektif karena hanya menghasilkan sedikit. Akhirnya, saya bertemu ibu rumah tangga yang semangat bekerja. Artinya, saat jahitannya jelek, dia mau mengulang jahitan. Jarak jahit itu harus rapi, bila perlu pakai penggaris biar sama ukurannya. Lama-lama akan terbiasa dan tak perlu bantuan penggaris lagi.”
Terhadap asisten rumah tangganya, Dini juga mengajarkan menjahit di sela-sela tugasnya. “Selain mendidiknya jadi kreatif, saya menghargai jerih payahnya. Jadi, mereka bisa menabung dari kerajinan ini. Apalagi, produk capungmungil 100 persen jahitan tangan. Kecuali sarung bantal dan taplak harus pakai mesin untuk menyambungnya. Makanya jadi lama pengerjaannya dan harganya mahal.”
Sampai Amerika
Menurut Dini, produksi akan lebih cepat jika dikerjakan bersama-sama. “Kelemahannya, tekstur flanel itu berbulu, jadi harus dikombinasi kain katun. Dijahit mesin pun hasilnya jadi kaku, lebih bagus dan menarik pakai tangan. Atau dikombinasi benang sulam, manik-manik, atau kancing agar lebih hidup.”
Capungmungil kini juga bisa ditemui di Alun Alun Jakarta dan Bandara Soekarno Hatta. “Moslem toys capungmungil juga sudha dijual di Amerika, lho. Ada warga muslim di sana yang punya usaha perlengkapan dan permainan muslim mengambil barang dari saya.”
Harga produk capungmungil pun beragam. Misalnya tempelan kulkas dan boneka jari Rp 8 ribu, sajadah Rp 150 ribu, sarung bantal Rp 65 ribu. Harga akan berbeda jika pesanan didesain dengan rumit. Kendati demikian, Dini mengaku enggan meniru mentah-mentah produk yang sudah ada. “Harus dimodifikasi dan disesuaikan dengan ciri khas capungmungil,” ujar Dini yang memiliki omset Rp 3-4 juta per bulan.
Pembelian akan meningkat saat banyak bayi lahir dan musim sekolah anak. “Begitu omzet turun saya cari peluang lain. Salah satunya kolaborasi dengan Bean Bag dan bemybean.com. Pemiliknya ada tiga orang, Cherie Anissa, Kiki Zakiya, Esthie Budiutami. Selama ini, kan, tampilannya selalu polos, nah saya ikut menambahkan aplikasi flanelnya. Ternyata menjadi bernilai lebih karena belum ada pesaing.” Atau berkolaborasi dengan birthday organization membuat goodie bag . “Syaratnya, nama saya harus dicantumkan. Bagi saya itu sebuah penghargaan terhadap karya.”
Hargai Karya
Sampai detik ini Dini tak menerima sistem keagenan, melainkan berjualan hanya lewat online . “Saya memang tidak mengejar produksi massal karena saya tergolong pembosan. Capungmungil ada di Alun Alun Jakarta pun karena di sana dijual barang-barang handmade berkualitas ekspor. Banyak yang minta jadi reseller, tapi susah sekali yang bisa dipercaya. Kadang label pembuatnya dicopot, diganti label agen. Bisa-bisa orang lebih mengenal agennya daripada pengrajinnya, kan.“
Sebagai perajin, Dini mengaku sakit hati dengan tindakan seperti itu. “Bukan masalah omset, tapi ini soal apresiasi terhadap karya saya. Ini buah karya, lho! Apa yang dihasilkan hari ini belum tentu besok dibuat bentuk yang sama, harus selalu berbeda. Di situlah letak kepuasannya. Kata suami, sih, saya seniman yang kebetulan bisa berdagang. Makanya, saya harus bisa menghargai sebuah karya. Kalau tidak bisa menghargai, tidak bakal maju!”
Noverita K Waldan /
inspiring story :). sukses terus capungmungil :)
BalasHapus